Minggu, 21 Maret 2021

PENGUKUHAN PC LPMNU KABUPATEN PROBOLINGGO

 PC LP Ma'arif NU Kabupaten Probolinggo dan MWC LPMNU Se Kabupaten Probolinggo, resmi dikukuhkan Oleh PW LP Ma'arif NU Jawa Timur, Minggu (21/3/2021). Pelaksanaan Pengukuhan ini dilakasanakan di Aula PCNU Kabupaten Probolinggo.

Hadir dalam kegitan tersebut KH Muzammil Syafi'i Anggota Dewan Provinsi Jawa Timur Partai Masdem,  Mustasyar PCNU sekaligus Dewan Penasehat PC LP Ma'arif NU ( Drs. KH. Hasan Aminuddin, M.Si. ) dalam sambutan nya menyampaikan Pentingnya Meningkatkan Kwalitas Pendidikan di Kabupaten Probolinggo melalui Program Bilingual school. Insya Allah dalam 1 Tahun kedepan PC LPMNU Kabupaten Probolinggo akan menambah  Aset Berupa Pendidikan Baru yang akan dibangun di Kecamatan Lumbang, mari kita Ikhtiyarkan Bersama Semoga  Segera Terselesikan Pembangunan Ini, dengan Koin Ma'arif kita Mentargetkan 1 Milyar per Tahun untuk pengembangan Sekolah Bilingual kita Kedepan. Aamiin pungkasnya dalam memberikn Arahan dan sambutan nya.  

Dalam kesempatan itu Ketua PW LP Ma'arif NU menyampaikan bahwa PC LP Ma'arif NU Kabupaten Probolinggo harus Menyambut baik Hadirnya Dewan Penasehat beliyau Drs. Hasan Aminuddin, M.Si. serta Dewan Pakar dari Unsur Pimpinan Kemenag dan Pimpinan Dinas Pendidikan untuk menyatukan Visi dan Menyamakan Presepsi sehingga apa yang di ikhtiyarkan bersama segera terwujud sementara Kepala Kemenag yang Sekaligus Dewan Pakar PC LPMNU menyambut baik bahkan Bersedia Hadir di tengah tengah pengurus untuk ikut Berdiskusi dan menyikapi apa yang menjadi Visi bersama untuk warga Nahdliyyin.

Senin, 06 Mei 2019

MEMBANGUN TOL LANGIT DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4,0



Katalisator Pendidikan Siap Songsong Era Revolusi Industri 4.0

Salam edukasi
Salah satu bakti untuk bangsa yang dipersembahkan oleh SEAMEO Secretariat   dalam menjawab tantangan revolusi industri 4.0 adalah program Virtual Coordinator Training (VCT) atau pelatihan mengelola training online. Kali ini, Program Virtual Coordinator Training (VCT) Batch 4 wilayah Jawa Timur kembali membuka kesempatan kepada pengawas, dosen, kepala sekolah, guru, dan praktisi pendidikan di Jawa Timur untuk menyongsong era revolusi industri 4.0.

Waktu Pendaftaran
6 s.d. 14 Mei 2019

Pelaksanaan Kegiatan
18 Mei s.d. 30 Juni 2019

Cara mendaftar
http://gg.gg/batch4jatim_psrt

Materi Pelatihan
1⃣ Teknik membuat daftar hadir digital dan digital flyer
2⃣ Teknik membuat QR code
3⃣ Teknik menulis narasi kegiatan
4⃣ Mengkreasi dan mengelola room webex
5⃣ Membuat Presentasi on line
6⃣ Teknik  menjadi  host, moderator dan presenter
7⃣ Praktik sebagai host, moderator dan presenter
8⃣ Merekam dan mengunggah kegiatan pelatihan pada youtube channel

Persyaratan peserta
1⃣ Siap berkolaborasi untuk belajar dan berbagi pengetahuan
2⃣ Memiliki No WhatsApp aktif
3⃣ Memiliki laptop/ tablet/ HP android
4⃣ Memiliki jaringan internet yang stabil
5⃣ Dapat mengoperasikan komputer dan perangkat lunak browser

Manfaat Pelatihan
1⃣ Menambah  wawasan, ilmu dan pengetahuan
2⃣ Mahir menggunakan teleconference  dengan webex sehingga dapat berkomunikasi secara virtual dalam pembelajaran, koordinasi dalam KKG, MGMP, MKKS dan Dinas yang terzona dengan efektif dan efisien
3⃣ Mendapatkan sertifikat 39 dari SEAMEO
4⃣ Berkesempatan menjadi instruktur pada pelatihan VCT selanjutnya

Narahubung
Moh. Charis  No. HP/WA 0819-4987-6799
Ari Eka P.        No. HP/WA 0856-9077-772
Ning Fadlillah No. HP/WA 0812-3490-7948

Segera daftar, jangan sampai tertinggal !!!
Siapkan diri menjadi katalisator pendidikan di Jawa Timur songsong era revolusi industri 4.0

 Salam Cetar untuk Jatim Cerdas

Tim VCT Batch 4
Jawa Timur

VALENTINE DAY MENURUT ISLAM



VALENTINE DAY (HARI BERKASIH SAYANG)
Menurut pandangan Islam

Benarkah ia hanya kasih sayang belaka ?
 
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti prasangka belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (Surah Al-An’am : 116)
 

Hari 'kasih sayang' yang dirayakan oleh orang-orang Barat pada tahun-tahun terakhir disebut 'Valentine Day' amat popular dan merebak di pelusuk Indonesia bahkan di Malaysia juga. Lebih-lebih lagi apabila menjelangnya bulan Februari di mana banyak kita temui jargon-jargon (simbol-simbol atau  iklan-iklan) tidak Islami hanya wujud demi untuk mengekspos (mempromosi) Valentine. Berbagai tempat hiburan bermula dari diskotik(disko/kelab malam), hotel-hotel, organisasi-organisasi mahupun kelompok-kelompok kecil; ramai yang berlumba-lumba menawarkan acara untuk merayakan Valentine. Dengan  dukungan(pengaruh) media massa seperti surat kabar, radio mahupun televisyen; sebagian besar orang Islam juga turut dicekoki(dihidangkan) dengan iklan-iklan Valentine Day.

 
SEJARAH VALENTINE:
Sungguh merupakan hal yang ironis(menyedihkan/tidak sepatutnya terjadi) apabila telinga kita mendengar bahkan kita sendiri 'terjun' dalam perayaan Valentine tersebut tanpa mengetahui sejarah Valentine itu sendiri. Valentine sebenarnya adalah seorang martyr (dalam Islam disebut 'Syuhada') yang kerana kesalahan dan bersifat 'dermawan' maka dia diberi gelaran Saint atau Santo.
Pada tanggal 14 Februari 270 M, St. Valentine dibunuh karena pertentangannya (pertelingkahan) dengan penguasa Romawi pada waktu itu iaitu Raja Claudius II (268 - 270 M). Untuk mengagungkan dia (St. Valentine), yang dianggap sebagai simbol ketabahan, keberanian dan kepasrahan dalam menghadapi cubaan hidup, maka para pengikutnya memperingati kematian St. Valentine sebagai 'upacara keagamaan'.
 

Tetapi sejak abad 16 M, 'upacara keagamaan' tersebut mulai beransur-ansur hilang dan berubah menjadi 'perayaan bukan keagamaan'. Hari Valentine kemudian dihubungkan dengan pesta jamuan kasih sayang bangsa Romawi kuno yang disebut “Supercalis” yang jatuh pada tanggal 15 Februari.
 

Setelah orang-orang Romawi itu masuk agama Nasrani(Kristian), pesta 'supercalis'  kemudian dikaitkan dengan upacara kematian St. Valentine. Penerimaan upacara kematian St. Valentine sebagai 'hari kasih sayang' juga dikaitkan dengan kepercayaan orang Eropah bahwa waktu 'kasih sayang' itu mulai bersemi 'bagai burung jantan dan betina' pada tanggal 14 Februari.
 

Dalam bahasa Perancis Normandia, pada abad pertengahan terdapat kata “Galentine” yang bererti 'galant atau cinta'. Persamaan bunyi antara galentine dan valentine menyebabkan orang berfikir bahwa sebaiknya para pemuda dalam mencari pasangan hidupnya pada tanggal 14 Februari. Dengan berkembangnya zaman, seorang 'martyr' bernama St. Valentino mungkin akan terus bergeser jauh pengertiannya(jauh dari erti yang sebenarnya). Manusia pada zaman sekarang tidak lagi mengetahui dengan jelas asal usul hari Valentine. Di mana pada zaman sekarang ini orang mengenal Valentine lewat (melalui) greeting card, pesta persaudaraan, tukar kado(bertukar-tukar memberi hadiah) dan sebagainya tanpa ingin mengetahui latar belakang sejarahnya lebih dari 1700 tahun yang lalu.
 

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa moment(hal/saat/waktu) ini hanyalah tidak lebih bercorak kepercayaan atau animisme belaka yang berusaha merosak 'akidah' muslim dan muslimah sekaligus memperkenalkan gaya hidup barat  dengan kedok percintaan(bertopengkan percintaan), perjodohan dan kasih sayang.

PANDANGAN ISLAM 
Sebagai seorang muslim tanyakanlah pada diri kita sendiri, apakah kita akan mencontohi begitu saja sesuatu yang jelas bukan bersumber dari Islam ?
 

Mari kita renungkan firman Allah s.w.t.:
“ Dan janglah kamu megikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggung jawabnya”. (Surah Al-Isra : 36)
 

Dalam Islam kata “tahu” berarti mampu mengindera(mengetahui) dengan seluruh panca indera yang dikuasai oleh hati. Pengetahuan yang sampai pada taraf mengangkat isi dan hakikat sebenarnya. Bukan hanya sekedar dapat melihat atau mendengar. Bukan pula sekadar tahu sejarah, tujuannya, apa, siapa, kapan(bila), bagaimana, dan di mana, akan tetapi lebih dari itu.
 

Oleh kerana itu Islam amat melarang kepercayaan yang membonceng(mendorong/mengikut) kepada suatu kepercayaan lain atau dalam Islam disebut Taqlid.
Hadis Rasulullah s.a.w:“ Barang siapa yang meniru atau mengikuti suatu kaum (agama) maka dia termasuk kaum (agama) itu”.
Firman Allah s.w.t. dalam Surah AL Imran (keluarga Imran) ayat 85 :“Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-sekali tidaklah diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.

HAL-HAL YANG HARUS DIBERI PERHATIAN:-
Dalam masalah Valentine itu perlu difahami secara mendalam terutama dari kaca mata agama kerana kehidupan kita tidak dapat lari atau lepas dari agama (Islam) sebagai pandangan hidup. Berikut ini beberapa hal yang harus difahami di dalam  masalah 'Valentine Day'.
 

1. PRINSIP / DASAR
   Valentine Day adalah suatu perayaan yang berdasarkan kepada pesta jamuan 'supercalis' bangsa Romawi kuno di mana setelah mereka masuk Agama  Nasrani (kristian), maka berubah menjadi 'acara keagamaan' yang dikaitkan dengan kematian St. Valentine.
 

2. SUMBER ASASI
   Valentine jelas-jelas bukan bersumber dari Islam, melainkan bersumber dari rekaan fikiran manusia yang diteruskan oleh pihak gereja. Oleh kerana itu lah , berpegang kepada akal rasional manusia semata-mata, tetapi jika tidak berdasarkan kepada Islam(Allah), maka ia akan tertolak.
Firman Allah swt dalam Surah Al Baqarah ayat 120 :“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.
Katakanlah : “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemahuan  mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu”.
 

3. TUJUAN
   Tujuan mencipta dan mengungkapkan rasa kasih sayang di persada bumi adalah baik. Tetapi bukan seminit untuk sehari dan sehari untuk setahun. Dan bukan pula bererti kita harus berkiblat kepada Valentine seolah-olah meninggikan ajaran lain di atas Islam. Islam diutuskan kepada umatnya dengan memerintahkan umatnya untuk berkasih sayang dan menjalinkan persaudaraan      yang abadi di bawah naungan Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Bahkan Rasulullah s.a.w. bersabda :“Tidak beriman salah seorang di antara kamu sehingga ia cinta kepada saudaranya seperti cintanya kepada diri sendiri”.
 

4. OPERASIONAL
Pada umumnya acara Valentine Day diadakan dalam bentuk pesta pora dan huru-hara.
Perhatikanlah firman Allah s.w.t.:“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaithon dan    syaithon itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (Surah Al Isra : 27)

Surah Al-Anfal ayat 63 yang berbunyi : “…walaupun kamu membelanjakan    semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat    mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati    mereka. Sesungguhnya Dia (Allah) Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
 

Sudah jelas ! Apapun alasannya, kita tidak dapat menerima kebudayaan import dari luar yang nyata-nyata bertentangan dengan keyakinan (akidah) kita. Janganlah kita mengotori akidah kita dengan dalih toleransi dan setia kawan. Kerana kalau dikata toleransi, Islamlah yang paling toleransi di dunia.
 

Sudah berapa jauhkah kita mengayunkan langkah mengelu-elukan(memuja-muja) Valentine Day ? Sudah semestinya kita menyedari sejak dini(saat ini), agar jangan sampai terperosok lebih jauh lagi. Tidak perlu kita irihati dan cemburu dengan upacara dan bentuk kasih sayang agama lain. Bukankah Allah itu Ar Rahman dan Ar Rohim.  Bukan hanya sehari untuk setahun. Dan bukan pula dibungkus dengan hawa nafsu. Tetapi yang jelas kasih sayang di dalam Islam lebih luas dari semua itu. Bahkan Islam itu merupakan 'alternatif' terakhir setelah manusia gagal dengan sistem-sistem lain.
 

Lihatlah kebangkitan Islam!!! Lihatlah kerosakan-kerosakan yang ditampilkan oleh peradaban Barat baik dalam media massa, televisyen dan sebagainya. Karena sebenarnya Barat hanya mengenali perkara atau urusan yang bersifat materi. Hati mereka kosong dan mereka bagaikan 'robot' yang bernyawa.
 

MARI ISTIQOMAH (BERPEGANG TEGUH)
Perhatikanlah Firman Allah :
“…dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk golongan orang-orang yang zalim”.
 

Semoga Allah memberikan kepada kita hidayahNya dan ketetapan hati untuk dapat istiqomah dengan Islam sehingga hati kita menerima kebenaran serta menjalankan ajarannya.
Tujuan dari semua itu adalah agar diri kita selalu taat sehingga dengan izin Allah s.w.t. kita dapat berjumpa dengan para Nabi baik Nabi Adam sampai Nabi Muhammad s.a.w.
Firman Allah s.w.t.:
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan RasulNya maka dia akan bersama orang-orang yang diberi nikmat dari golongan Nabi-Nabi, para shiddiq (benar imannya), syuhada, sholihin (orang-orang sholih), mereka itulah sebaik-baik teman”.
 

Berkata Peguam Zulkifli Nordin (peguam di Malaysia) di dalam kaset 'MURTAD' yang mafhumnya :-
"VALENTINE" adalah nama seorang paderi. Namanya Pedro St. Valentino. 14 Februari 1492 adalah hari kejatuhan Kerajaan Islam Sepanyol. Paderi ini umumkan atau isytiharkan hari tersebut sebagai hari 'kasih sayang' kerana pada nya Islam adalah ZALIM!!!  Tumbangnya Kerajaan Islam Sepanyol dirayakan sebagai Hari Valentine. Semoga Anda Semua Ambil Pengajaran!!! Jadi.. mengapa kita ingin menyambut Hari Valentine ini kerana hari itu adalah hari jatuhnya kerajaan Islam kita di Sepanyol..

 



Minggu, 21 Agustus 2016

Sejauh Mana Rindu Kita Berjumpa Dengan Nabi SAW


Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.”

 Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani (1150 H/1737 M) adalah imam besaar yang diyakini sebagai seorang wali quthb. Sejak usia tujuh tahun Syaikh At-Tijani telah hafal Al-Qur’an. Kemudian pada usia dua puluh tahun ia telah mendalami berbagai ca­bang ilmu; baik ilmu ushul, ilmu furu’, mau­pun ilmu adab. Menginjak usia tiga puluh satu tahun, Syaikh At-Tijani mendalami ilmu tasawuf dan terjun dalam dunia sufi sampai memasuki usia empat puluh enam tahun. Ia membersihkan jiwa, tenggelam dalam mengamalkan amalan thariqah dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah, se­perti Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Fez (Maroko), dan Abu Samghun. Kun­jungan kepada wali-wali besar itu dalam upaya silaturahim dan menapaki hik­mah-hikmah kewalian secara lebih luas.

Pada saat itu para wali besar telah melihat dan mengakui bahwa Syaikh At-Tijani adalah wali besar, bahkan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ungkap­an kesaksian demikian karena di dunia sufi diakui bahwa derajat kewalian hanya bisa di­ketahui oleh sesama wali, yang haki­katnya berasal dari Allah SWT. Derajat wali, semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah.

Proses panjang Syaikh At-Tijani me­napaki hikmah-hikmah kewalian melalui perja­lanan panjang mengunjungi para awliya’ besar, berakhir di sebuah padang sahara bernama Abu Samghun di wila­yah Alja­zair. Syaikh At-Tijani meng­un­jungi dae­rah Abu Samghun pada tahun 1196 H/1782 M. Di tempat inilah ia men­capai anu­gerah al-fath al-akbar (pembu­kaan be­sar) dari Allah.

Pada saat al-fath al-akbar ini Syaikh At-Tijani mengaku berjumpa dengan Ra­sulullah SAW secara yaqzhah, sadar la­hir dan bathin. Pada saat itu ia mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah SAW berupa istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian, pada tahun 1200 H/1786 M, wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah SAW dengan baca­an dzikir Hailalah (La ilaha illallah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW melalui perjumpa­an secara yaqzhah inilah yang menjadi awal mula berdirinya Thariqah At-Tija­niyah.

Penggalan kisah perjalanan ruhani Syaikh At-Tijani di atas hingga bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan sadar lahir bathin adalah anugerah Ilahi­yah hasil dari perjalanan panjang yang tidak setiap orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang terpilih sebagai ke­kasih-kekasih Allah.

Bertemu dengan Rasulullah SAW se­perti yang dialami oleh Syaikh At-Tijani hanyalah satu dari berjuta lembar­an riwayat yang mencatatkan perjumpa­an terindah antara sang kekasih dengan tumpuan hatinya, antara perindu dengan kekasih tercintanya, dan antara umat yang teramat sayang dan rindu kepada nabinya, insan termulia, manusia pilihan, kekasih Tuhan semesta alam, habibuna Muhammad Rasulullah SAW.

Diriwayatkan, seorang waliyullah diberikan kecintaan lebih kepada Allah. Wali itu bernama Syaikh Balwas. Di­nama­kan “Syaikh Balwas” karena kele­bihan cintanya itu kepada Allah. Ia melakukan hijrah ke sebuah gua, yang akhirnya ia dicerca dan dibenci oleh keluarganya, saudaranya, lingkung­annya. Mirip yang dialami oleh Nabi Ayub AS.

Rindunya kepada Rasulullah SAW berapi-api hingga suatu ketika Allah mengilhamkan bacaan shalawat kepada­nya, yang ternyata kelebihannya luar biasa bagi yang mengamalkannya. Syaikh Balwas merenungkan ayat Allah tentang kejadian manusia yang dium­pamakan seekor burung kepada Nabi Ibrahim AS. Burung tersebut dipotong men­jadi beberapa bagian, kemudian di­hidupkan kembali.

“Ya Allah, semua orang adalah faqir (tidak punya). Nabi Khidhir juga faqir. Hanya Engkaulah Yang Mahakaya. Maka aku ingin bertemu dengan Rasul­ullah SAW secara yaqzhah,” ujar Syaikh Balwas suatu ketika.

Maka seluruh apa yang dimilikinya di­berikan kepada orang lain. Termasuk istri­nya, diserahkan kepada pihak kesul­tanan.

“Dan aku ini budak siapa pun,” kata Syaikh Balwas. Maka setiap ada yang meminta bantuannya karena Allah, ia me­nyerahkan dirinya untuk membantu­nya. Perilaku ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS.

Kemudian, datanglah Rasulullah SAW menjumpai Syaikh Balwas dalam keadaan sadar. Beliau memberikan bacaan shalawat kepadanya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Balwas untuk membacanya sebanyak 20.000 kali.

Berkata Syaikh Balwas, “Aku menger­jakannya dalam sehari semalam.” Lalu datanglah seseorang membawa­kan uang 20.000 dinar kepadanya.

Syaikh Balwas hidup pada masa Syaikh Samman Al-Madani. Ia adalah orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali Allah. Kisah ini termasyhur di kalangan pengikut Tha­riqah Idrisiyah.

Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, dalam kitabnya Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, menukil riwayat dari Syaikh Ahmad Al-Mubarak dalam kitab Al-Ibriz, meriwayatkan ihwal gurunya, Syaikh Al-Ghawts Abdul Aziz Ad-Dab­bagh, yang menceritakan bahwa Nabi Khidhir AS memberinya satu wiridan, pada masa awal perjalanan kewalian­nya, untuk diamalkan setiap hari dengan membacanya sebanyak 7000 kali. Wirid­an itu berupa doa yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, dengan kedudukan peng­hulu kami, Nabi Muhammad bin Abdullah, kumpulkanlah aku bersama Nabi Muhammad di dunia sebelum di akhirat.”

Syaikh Abdul Aziz kemudian menda­wamkan wirid ini sebagaimana dianjur­kan oleh Nabi Khidhir AS hingga ia ber­temu dengan Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dalam pertemuan itu, Syaikh Abdul Aziz menanyakan kepada Nabi SAW ber­bagai permasalahan. Kemudian Nabi pun menjawab berbagai permasalahan yang diajukan tersebut dengan jawaban yang tidak satu pun bertentangan de­ngan penjelasan yang disebutkan oleh para imam, padahal Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang ummi, tidak dapat membaca ataupun menulis.

Selain itu, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengisahkan juga perjumpaannya de­ngan Syaikh Mahmud Al-Kurdi di makam Nabi SAW. Syaikh Kurdi menyatakan, dirinya selalu berjumpa dengan Nabi SAW dan berdialog dengan beliau. Per­nah juga Syaikh Kurdi datang ke makam Nabi SAW dan dikatakan kepadanya bahwa beliau SAW sedang berkunjung kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib. Syaikh Kurdi juga mencerita­kan berbagai hal yang dialaminya ber­sama Rasulullah SAW selama itu. “Dan aku meyakini hal itu dan membenarkan apa yang diceritakannya itu, karena be­liau termasuk salah satu ulama shadi­qin,” kata Syaikh Yusuf menegaskan.

Dalam kitab yang sama, Syaikh Yusuf juga menukilkan riwayat dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami, menghi­kayatkan dari Syaikh Ibnu Abi Jumrah, Syaikh Al-Bazi, Syaikh Al-Yafi, dan yang lainnya dari kalangan tabi‘in dan juga generasi sesudah mereka, bahwa mere­ka telah bertemu Nabi SAW dalam mim­pi dan kemudian bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang perkara-per­kara yang ghaib dan beliau pun menja­wabnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah seperti apa yang dikhabarkan oleh Nabi SAW.

Syaikh Ibnu Abi Jumrah mengata­kan, “Hal tersebut adalah bagian dari karamah awliya’, sehingga orang-orang yang mengingkarinya mestilah terjatuh ke dalam jurang pengingkaran terhadap karamah para awliya.”

Mungkinkah Bertemu Nabi?
Dapatkan seseorang bertemu, ber­bin­cang, bahkan berdialog dengan Nabi SAW, yang sudah wafat berabad-abad yang lalu, dalam keadaan sadar? Ma­salah ini memang menimbulkan perbe­da­an pendapat di kalangan umat Islam. Karena ada banyak aspek yang jawab­nya pun akan beragam pula berdasar­kan aspek yang dimaksudkan dan di­tanyakan.

Apakah pertanyaan itu menyangkut aspek syari’at dan tetapnya kemungkin­an melihat Nabi SAW dengan dalil-dalil syari’at? Apakah pertanyaan itu berkait­an dengan makna melihat dan kapan ter­jadinya? Dan siapakah yang layak meli­hat Nabi SAW jika hal itu termasuk mung­kin menurut syari’at?

Sesungguhnya permasalahan ten­tang melihat Nabi SAW secara nyata dan sadar telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayat­kan dari Abu Hurairah RA bahwa Ra­sulullah SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.”

Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bary menukilkan bahwa hadits ini diriwayatkan dengan tiga lafazh yang berbeda, yakni: pertama dengan lafazh “niscaya akan melihatku dalam keadaan sadar”, kedua dengan lafazh “maka se­akan-akan ia telah melihatku dalam ke­adaan sadar”, dan ketiga dengan lafazh “maka sungguh ia telah melihatku”.

Berkenaan dengan hadits ini, para ulama berbeda pendapat dalam menen­tukan lafazh yang paling kuat di antara ketiga riwayat tersebut, meskipun mere­ka tidak berbeda pendapat dalam kesha­hihannya. Perbedaan pendapat juga ter­jadi dalam menentukan makna dari ke­tiganya, terutama pada riwayat yang me­nyatakan, “Barang siapa melihatku da­lam mimpi, niscaya ia akan melihatku da­lam keadaan sadar.”

Untuk mengetahui apakah mungkin bertemu Nabi SAW dalam keadaan sa­dar, menurut pandangan syari’at tidaklah dapat disimpulkan berdasarkan hadits ini. Melainkan berdasarkan hadits-hadits lain yang kedudukannya mendekati mutawatir (derajat tertinggi keshahihan hadits). Yakni, antara lain, hadits-hadits yang menjelaskan mungkinnya melihat arwah yang tidak lagi berada pada jasad duniawinya. Hal itu telah dialami oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam ri­wayat yang menjelaskan ihwal peristiwa Isra dan Mi‘raj.

Nabi SAW dipertemukan oleh Allah de­ngan arwah para nabi sebelumnya, yang menyerupai bentuk jasad mereka se­masa di dunia, sebagaimana dijelas­kan dalam hadits-hadits yang shahih.

Dari riwayat tentang peristiwa Isra dan Mi‘raj yang dialami oleh Rasulullah SAW, dapat dipahami adanya kemung­kin­an melihat arwah menurut syari’at yang menjadi pembahasan kita kali ini, dengan tidak memandang kepada siapa yang mengalami peristiwa tersebut, yakni Rasulullah SAW. Hal itu tidak lain adalah mukjizat Nabi SAW.

Kalangan ulama Ahlussunnah wal Ja­ma’ah dalam masalah karamah aw­liya’ berpandangan bahwa segala se­suatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususannya bagi Nabi SAW.

Pandangan ini telah dijelaskan oleh para imam, di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarh Muslim. Demikian itu karena karamah dan mukjizat, kedua­nya adalah sama-sama perkara yang di luar adat kebiasaan manusia yang da­tang dari Allah SWT. Perbedaan kedua­nya tidak terletak pada kemungkinan ter­jadinya, melainkan pada kedudukan muk­jizat sebagai bukti nyata yang tidak dapat diingkari kebenarannya dan se­bagai bukti kebenaran kenabian. Ada­pun karamah tidaklah demikian, melain­kan sebagai karunia dan kemuliaan yang Allah berikan bagi siapa pun yang dike­hendaki-Nya dari para kekasih Allah.

Karamah-karamah tersebut banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, dengan tidak adanya batasan tertentu, selain bahwa hal itu mungkin terjadinya dengan kudrat Allah SWT dengan bentuk yang berbeda-beda berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami oleh masing-masing pelakunya. Seperti pertemuan dan dialog antara Mar­yam dan Jibril AS, pemindahan is­tana Bilqis dalam sekejap mata oleh salah seorang pengikut Nabi Sulaiman AS yang dikaruniai ilmu dari Al-Kitab, dan sebagainya.

Berdasarkan riwayat yang menetap­kan bertemunya Nabi SAW dengan ar­wah para nabi dalam peristiwa Isra dan Mi‘raj, sebagai mukjizat bagi beliau, da­pat dikatakan, sah pula bahwa arwah da­pat dilihat oleh wali siapa pun dengan ja­lan di luar adat kebiasaan manusia, se­bagai penghormatan dan kemuliaan dari Allah SWT. Karena bertemu dan melihat arwah tidaklah termasuk khushushiyah (sesuatu yang dikhususkan) bagi Nabi SAW semata, sehingga hal itu berlaku dalam konteks umum.

Pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk men­jadi karamah bagi wali, ini bersan­dar­kan pada dasar-dasar yang kuat. Yakni bahwa pembahasan dalam masa­lah terjadinya perkara apa pun membu­tuh­kan dua dalil, yaitu al-imkan ‘aqlan (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut naqlan (ketetapan berda­sar­kan nash-nash syari’at).

Mungkin terjadinya secara akal, yak­ni tidak termasuk mustahil secara akal, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ter­gam­bar oleh akal wujudnya, seperti per­nyataan bahwa benda bergerak dan diam pada satu waktu yang bersamaan, tempat yang sama, dan arah yang sama pula. Dan mukjizat para nabi dan kara­mah para awliya’ termasuk perkara yang jaiz, mungkin terjadinya, menurut akal. Karena perkara yang mustahil secara akal, mustahil pula terjadinya meski se­kadar dalam khayalan.

Menghidupkan orang yang sudah mati, sebagaimana terjadi pada Nabi Isa AS, misalnya, telah dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjuk­kan penetapan terjadinya peristiwa itu me­nurut nash syari’at, yang mana meng­hidupkan orang yang sudah mati terma­suk mukjizat yang paling agung. Akan tetapi, tidak adanya riwayat yang me­nyebutkan terjadinya hal itu bagi selain Nabi Isa AS tidaklah menunjukkan bah­wa hal itu mustahil terjadinya pada selain Nabi Isa AS.

Di sana terdapat perbedaan antara apa yang mungkin terjadi dan apa yang belum terjadi berdasarkan ketetapan nash-nash syari’at. Tidak ada riwayat shahih yang menetapkan bahwa Nabi SAW menghidupkan orang yang mati padahal beliau lebih dekat dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah diban­ding Nabi Isa AS. Namun Imam Syafi‘i berkata, “Tidaklah seorang nabi diberi mukjizat oleh Allah SWT kecuali Nabi SAW diberi mukjizat sejenisnya yang lebih agung darinya.”

Ketika Imam Syafi‘i ditanya perihal Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, ia menjawab, “Tangisan pilu batang kurma lebih agung dalam masalah ini.” Karena menghidup­kan yang sudah mati berarti mengem­balikan kehidupan bagi sesuatu yang su­dah pernah hidup sebelumnya. Sedang­kan tangisan pilu batang kurma berarti memberikan kehidupan yang serupa de­ngan kehidupan manusia bagi sesuatu yang tidak memiliki kehidupan seperti manusia.

Para ulama menyatakan, hal itu me­rupakan mukjizat Nabi SAW, dan setiap karamah para wali adalah mukjizat Nabi SAW, karena mereka menerima kara­mah tersebut dengan sebab ittiba (meng­ikuti jalan) Rasulullah SAW sehing­ga semua karamah yang dika­runiakan Allah kepada para wali tidak lain adalah mukjizat-mukjizat beliau SAW.

Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa mukjizat membutuhkan al-imka­nul ‘aqliy (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut an-naqliy (ketetapan ber­dasarkan nash-nash syari’at). Demi­kian pula halnya dengan karamah. Ha­nya saja perbedaan keduanya adalah bah­wa yang pertama adalah pengakuan Nabi SAW, sedangkan yang kedua bu­kan pengakuan Nabi SAW. Perbedaan­nya juga bahwa iman kepada setiap muk­jizat wajib hukumnya pada dzatnya; adapun karamah para wali, wajib iman kepadanya secara umum, bukan kepada tiap-tiap karamah yang terjadi pada ma­sing-masing setiap wali, kecuali terha­dap karamah-karamah yang telah dite­tapkan dalam Al-Qur’an dan hadits-ha­dits Nabi SAW.

Adapun berkaitan dengan masalah ber­temu Nabi SAW dalam keadaan sa­dar, dapat dikatakan bahwa hal itu ter­masuk mumkin syar‘an wa ‘aqlan (mung­kin atau boleh terjadinya secara syari’at dan akal).

Mungkin secara akal telah diuraikan di atas. Adapun menurut syariat, dasar­nya adalah kaidah: segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali. Dan nash syari’at yang diri­wayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahih­nya telah menetapkan bagi siapa pun yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi akan bertemu dengan beliau dalam ke­adaan sadar.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dalam bab at-Ta‘bir, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa me­lihatku dalam mimpi, niscaya ia akan me­lihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.” Kemudian Imam Al-Bukhari menyebut­kan pula secara langsung riwayat lain dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, sungguh dia telah melihatku, karena se­sungguhnya setan tidak dapat menye­rupai diriku. Dan mimpi seorang mukmin adalah bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”

Selanjutnya, sebagian ulama menje­laskan bahwa lafazh hadits ini menggu­nakan kata “fasayarani”. Huruf sin yang me­nunjukkan arti “akan” bila dimasuk­kan dalam fi`il mudhari`(kata kerja ben­tuk kedua yang menunjukkan makna kini dan akan datang), dalam kaidah bahasa Arab, digunakan untuk menunjukkan jarak waktu yang dekat. Berbeda dengan kata sawfa, yang bermakna “niscaya akan”, digunakan untuk masa yang jauh. Dan Nabi SAW tidak berkata-kata dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang datangnya dari Allah SWT. Itulah sebabnya, ucapan yang keluar dari lisan beliau adalah ucapan yang paling kuat, yang tidak ada kerancuan padanya atau sesuatu yang mendatang­kan keraguan.

Bila yang dimaksud “melihat” dalam hadits tersebut adalah melihat kelak pada hari Kiamat, niscaya beliau berkata “sawfa yarani” (niscaya akan). Sedang­kan ulama sepakat bahwa semua orang mukmin akan bertemu dengan Nabi SAW pada hari Kiamat. Lalu di mana perbedaan dan keistimewaan bagi orang yang mimpi bertemu Nabi di dunia, atau apakah hanya orang yang bertemu Nabi dalam mimpi yang akan bertemu beliau kelak pada hari Kiamat?

Sayyid Muhammad Al-Maliki menga­takan, “Adapun bagi pihak yang mentak­wilkannya dengan melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar di akhirat, jawaban para ulama terhadap mereka: sesung­guhnya di akhirat, setiap orang yang ber­iman akan melihat Baginda SAW, sama saja yang pernah bermimpi berjumpa dengan beliau di dunia maupun yang tidak pernah bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, seperti yang dijelaskan dalam banyak hadist shahih yang lain. Hal ini menyebabkan, tidak ada peng­khususan antara mereka yang pernah melihat Nabi di dalam mimpi ataupun tidak. Sedangkan hadits tersebut men­ce­ritakan ihwal pengkhususan terhadap mereka yang pernah bermimpi bertemu Nabi dari mereka yang tidak pernah bermimpi berjumpa Nabi, yaitu, ‘ia akan melihatku dalam keadaan sadar’.”

Selain itu, Imam As-Suyuthi, dalam kitab Tanwir Al-Halk fi Imkan Ra’yah An-Nabiy fi Al-Yaqzhah wa Al-Malak, me­nukilkan penjelasan Imam Abu Muham­mad bin Abi Jumrah, ia berkata dalam ta’liq-nya (komentar) terhadap hadits riwayat Al-Bukhari, “Hadits ini menunjuk­kan bahwa barang siapa yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi, nis­caya orang tersebut akan bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dan apakah hal ini ber­laku umum pada masa Nabi hi­dup dan sesudah beliau wafat, ataukah hanya pada masa hidup beliau? Kemu­dian apakah hal itu berlaku bagi setiap orang yang melihat Nabi dalam mimpi, atau khusus bagi mereka yang memiliki ke­mampuan tertentu dan mengikuti sun­nah beliau SAW?

Lafazh hadits ini menunjukkan ke­umumannya; dan barang siapa menya­ta­kan kekhususan dengan tanpa adanya dalil yang mengkhususkannya dari Nabi SAW, orang tersebut telah berlaku sem­brono.

Namun sebagian orang benar-benar tidak meyakini keumuman hadits ini. Ia berkata dengan apa yang ada dalam pikirannya, ‘Bagaimana mungkin sese­orang yang sudah meninggalkan dunia dapat dilihat oleh orang yang masih hidup di alam nyata?’

Pendapat semacam ini mengandung dua hal yang sangat berbahaya, yaitu: pertama, tidak mempercayai ucapan Nabi SAW, yang tidaklah mengucapkan sesuat dari keinginanya; dan yang ke­dua, bodoh terhadap kekuasaan Yang Maha­kuasa dan menganggapnya lemah.…”

Imam As-Suyuthi berkata, “Ungkap­an Imam Ibnu Abi Jumrah bahwa ‘Lafazh hadits ini menunjukkan keumumannya’ tidak khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW, maksudnya adalah kepastian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar setelah melihat beliau dalam mimpi, meskipun hanya sekali, sebagai bukti dari janji beliau SAW yang tidak akan mungkin diingkari. Dan bagi orang awam, hal itu banyak terjadi pada saat-saat menjelang kematian, yaitu pada saat hadirnya sakratul maut. Yang mana ruhnya tidak akan keluar dari jasadnya sebelum melihat Nabi SAW sebagai perwujudan dari janji beliau SAW.

Adapun bagi selain orang-orang awam, melihat dan bertemu Nabi SAW dapat terjadi sepanjang hidup mereka, baik itu sering ataupun jarang, tergan­tung dari kesungguhan dan pemeliha­ra­an mereka terhadap sunnah Nabi SAW. Dan melanggar sunnah Nabi SAW merupakan penghalang yang besar untuk dapat melihat dan bertemu dengan beliau SAW.”

Sejauh Mana Cinta Kita
Itulah sebabnya, bagi yang mengha­rapkan mendapat anugerah besar dapat mimpi dan bertemu Nabi SAW, penting bagi kita untuk merenungi kisah berikut, sebagai muhasabah sejauh mana ke­cintaan kita kepada Rasulullah SAW dan seberapa besar pula tekad dan kesung­guhan kita dalam menjalankan sunnah-sunnah beliau SAW.

Pada suatu ketika seorang murid ber­jalan menuju rumah gurunya. Tam­pak di wajahnya ia sedang mengingin­kan sesuatu. Ketika sampai di rumah sang guru, dia duduk bersimpuh dengan sangat ber­adab di hadapan sang guru, yang tak bergerak sedikit pun. Kemudian dengan wajah dan suara yang berwibawa, bertanyalah sang guru kepada muridnya, “Apakah yang mem­buatmu datang kepadaku di tengah ma­lam begini?”

“Wahai Guru, sudah lama aku ingin melihat nabiku SAW walau hanya lewat mimpi, tetapi keinginanku belum terkabul juga,” jawab sang murid dengan nada sungguh-sungguh.

“Oh… itu rupanya yang kau inginkan. Tunggu sebentar.”

Sang guru mengeluarkan pena, ke­mudian menuliskan sesuatu untuk mu­ridnya. “Ini…, bacalah setiap hari se­banyak seribu kali, insya Allah kau akan bertemu dengan nabimu.”

Pulanglah murid membawa catatan dari sang guru, dengan penuh harapan ia akan bertemu dengan Rasulullah SAW. Tetapi setelah beberapa minggu kembalilah murid itu ke rumah gurunya, memberitahukan bahwa bacaan yang diberikannya tidak berpengaruh apa-apa.

Kemudian sang guru memberikan bacaan baru untuk dicobanya lagi. Sayangnya, beberapa minggu sete­lah itu muridnya kembali lagi memberi­tahukan kejadian yang sama. Setelah berdiam beberapa saat, ber­katalah sang guru, “Nanti malam engkau datang ke rumahku, kuundang makan ma­lam.” Sang murid heran. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ingin bertemu Nabi, tetapi kok diundang makan malam?” Sebagai murid yang taat, ia meme­nuhi undangan makan malam sang guru. Datanglah ia ke rumah gurunya untuk me­nikmati hidangan malamnya.

Tenyata sang guru hanya menghi­dang­kan ikan asin dan segera memerin­tahkan muridnya untuk menghabiskan­nya. “Makan, makanlah semua, dan ja­ngan biarkan tersisa sedikit pun.” Sang murid pun menghabiskan selu­ruh ikan asin yang ada. Setelah itu ia merasa kehausan, ka­rena memang ikan asin membuat orang haus. Tetapi ketika ingin meneguk air yang ada di depan matanya, sang guru mela­rangnya. “Kau tidak boleh meminum air itu hing­ga esok pagi, dan malam ini kau akan tidur di rumahku!” kata sang guru. Dengan penuh keheranan, ia menu­ruti perintah sang guru. Ketika malam semakin larut, sang murid merasa susah tertidur, karena ke­hausan. Ia membolak-balikkan badan­nya, hingga akhirnya tertidur juga karena kelelahan.

Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu gurunya membawakan satu ember air dingin lalu mengguyurkan ke badannya. Lalu terjagalah ia karena mimpi itu, se­akan-akan benar-benar terjadi pada diri­nya. Kemudian ia mendapati gurunya te­lah berdiri di hadapannya dan berkata, “Apa yang kau impikan?” “Guru, aku tidak bermimpi tentang Nabi SAW. Aku bermimpi, guru mem­bawa air dingin lalu mengguyurkan ke badanku.” Tersenyumlah sang guru karena ja­waban muridnya. Kemudian dengan bi­jaksana ia berkata, “Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi ber­temu Rasulullah SAW.” Menangislah si murid, ia menyadari bahwa di dalam dirinya belum ada rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Ia masih le­bih mencintai dunia daripada Nabi SAW. Ia menyadari bahwa selama itu ia ma­sih sering meninggalkan sunnah-sun­nahnya, bahkan ia pun merasa masih sering me­nyakiti hati umat Rasulullah SAW.

Sumber : majalah-alkisah.com

Sejauh Mana Rindu Kita Berjumpa Dengan Nabi SAW


Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi bertemu Rasulullah SAW.”

 Syaikh Ahmad bin Muhammad bin Mukhtar At-Tijani (1150 H/1737 M) adalah imam besaar yang diyakini sebagai seorang wali quthb. Sejak usia tujuh tahun Syaikh At-Tijani telah hafal Al-Qur’an. Kemudian pada usia dua puluh tahun ia telah mendalami berbagai ca­bang ilmu; baik ilmu ushul, ilmu furu’, mau­pun ilmu adab. Menginjak usia tiga puluh satu tahun, Syaikh At-Tijani mendalami ilmu tasawuf dan terjun dalam dunia sufi sampai memasuki usia empat puluh enam tahun. Ia membersihkan jiwa, tenggelam dalam mengamalkan amalan thariqah dibarengi kunjungan kepada para wali besar di berbagai belahan daerah, se­perti Tunisia, Mesir, Makkah, Madinah, Fez (Maroko), dan Abu Samghun. Kun­jungan kepada wali-wali besar itu dalam upaya silaturahim dan menapaki hik­mah-hikmah kewalian secara lebih luas.

Pada saat itu para wali besar telah melihat dan mengakui bahwa Syaikh At-Tijani adalah wali besar, bahkan lebih tinggi derajatnya dari yang lain. Ungkap­an kesaksian demikian karena di dunia sufi diakui bahwa derajat kewalian hanya bisa di­ketahui oleh sesama wali, yang haki­katnya berasal dari Allah SWT. Derajat wali, semata karena Allah, anugerah dari Allah, tidak bisa diketahui kecuali atas kehendak Allah.

Proses panjang Syaikh At-Tijani me­napaki hikmah-hikmah kewalian melalui perja­lanan panjang mengunjungi para awliya’ besar, berakhir di sebuah padang sahara bernama Abu Samghun di wila­yah Alja­zair. Syaikh At-Tijani meng­un­jungi dae­rah Abu Samghun pada tahun 1196 H/1782 M. Di tempat inilah ia men­capai anu­gerah al-fath al-akbar (pembu­kaan be­sar) dari Allah.

Pada saat al-fath al-akbar ini Syaikh At-Tijani mengaku berjumpa dengan Ra­sulullah SAW secara yaqzhah, sadar la­hir dan bathin. Pada saat itu ia mendapat talqin (pengajaran) tentang wirid-wirid dari Rasulullah SAW berupa istighfar 100 kali dan shalawat 100 kali. Empat tahun kemudian, pada tahun 1200 H/1786 M, wirid itu disempurnakan lagi oleh Rasulullah SAW dengan baca­an dzikir Hailalah (La ilaha illallah) 100 kali. Wirid-wirid yang diajarkan langsung oleh Rasulullah SAW melalui perjumpa­an secara yaqzhah inilah yang menjadi awal mula berdirinya Thariqah At-Tija­niyah.

Penggalan kisah perjalanan ruhani Syaikh At-Tijani di atas hingga bertemu dengan Rasulullah SAW dalam keadaan sadar lahir bathin adalah anugerah Ilahi­yah hasil dari perjalanan panjang yang tidak setiap orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang terpilih sebagai ke­kasih-kekasih Allah.

Bertemu dengan Rasulullah SAW se­perti yang dialami oleh Syaikh At-Tijani hanyalah satu dari berjuta lembar­an riwayat yang mencatatkan perjumpa­an terindah antara sang kekasih dengan tumpuan hatinya, antara perindu dengan kekasih tercintanya, dan antara umat yang teramat sayang dan rindu kepada nabinya, insan termulia, manusia pilihan, kekasih Tuhan semesta alam, habibuna Muhammad Rasulullah SAW.

Diriwayatkan, seorang waliyullah diberikan kecintaan lebih kepada Allah. Wali itu bernama Syaikh Balwas. Di­nama­kan “Syaikh Balwas” karena kele­bihan cintanya itu kepada Allah. Ia melakukan hijrah ke sebuah gua, yang akhirnya ia dicerca dan dibenci oleh keluarganya, saudaranya, lingkung­annya. Mirip yang dialami oleh Nabi Ayub AS.

Rindunya kepada Rasulullah SAW berapi-api hingga suatu ketika Allah mengilhamkan bacaan shalawat kepada­nya, yang ternyata kelebihannya luar biasa bagi yang mengamalkannya. Syaikh Balwas merenungkan ayat Allah tentang kejadian manusia yang dium­pamakan seekor burung kepada Nabi Ibrahim AS. Burung tersebut dipotong men­jadi beberapa bagian, kemudian di­hidupkan kembali.

“Ya Allah, semua orang adalah faqir (tidak punya). Nabi Khidhir juga faqir. Hanya Engkaulah Yang Mahakaya. Maka aku ingin bertemu dengan Rasul­ullah SAW secara yaqzhah,” ujar Syaikh Balwas suatu ketika.

Maka seluruh apa yang dimilikinya di­berikan kepada orang lain. Termasuk istri­nya, diserahkan kepada pihak kesul­tanan.

“Dan aku ini budak siapa pun,” kata Syaikh Balwas. Maka setiap ada yang meminta bantuannya karena Allah, ia me­nyerahkan dirinya untuk membantu­nya. Perilaku ini mirip dengan apa yang dilakukan oleh Nabi Khidhir AS.

Kemudian, datanglah Rasulullah SAW menjumpai Syaikh Balwas dalam keadaan sadar. Beliau memberikan bacaan shalawat kepadanya. Rasulullah SAW memerintahkan kepada Syaikh Balwas untuk membacanya sebanyak 20.000 kali.

Berkata Syaikh Balwas, “Aku menger­jakannya dalam sehari semalam.” Lalu datanglah seseorang membawa­kan uang 20.000 dinar kepadanya.

Syaikh Balwas hidup pada masa Syaikh Samman Al-Madani. Ia adalah orang yang tidak mengetahui bahwa dirinya adalah seorang wali Allah. Kisah ini termasyhur di kalangan pengikut Tha­riqah Idrisiyah.

Syaikh Yusuf bin Ismail An-Nabhani, dalam kitabnya Afdhal ash-Shalawat ‘ala Sayyid as-Sadat, menukil riwayat dari Syaikh Ahmad Al-Mubarak dalam kitab Al-Ibriz, meriwayatkan ihwal gurunya, Syaikh Al-Ghawts Abdul Aziz Ad-Dab­bagh, yang menceritakan bahwa Nabi Khidhir AS memberinya satu wiridan, pada masa awal perjalanan kewalian­nya, untuk diamalkan setiap hari dengan membacanya sebanyak 7000 kali. Wirid­an itu berupa doa yang berbunyi, “Ya Allah, ya Tuhanku, dengan kedudukan peng­hulu kami, Nabi Muhammad bin Abdullah, kumpulkanlah aku bersama Nabi Muhammad di dunia sebelum di akhirat.”

Syaikh Abdul Aziz kemudian menda­wamkan wirid ini sebagaimana dianjur­kan oleh Nabi Khidhir AS hingga ia ber­temu dengan Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dalam pertemuan itu, Syaikh Abdul Aziz menanyakan kepada Nabi SAW ber­bagai permasalahan. Kemudian Nabi pun menjawab berbagai permasalahan yang diajukan tersebut dengan jawaban yang tidak satu pun bertentangan de­ngan penjelasan yang disebutkan oleh para imam, padahal Syaikh Abdul Aziz adalah orang yang ummi, tidak dapat membaca ataupun menulis.

Selain itu, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengisahkan juga perjumpaannya de­ngan Syaikh Mahmud Al-Kurdi di makam Nabi SAW. Syaikh Kurdi menyatakan, dirinya selalu berjumpa dengan Nabi SAW dan berdialog dengan beliau. Per­nah juga Syaikh Kurdi datang ke makam Nabi SAW dan dikatakan kepadanya bahwa beliau SAW sedang berkunjung kepada pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib. Syaikh Kurdi juga mencerita­kan berbagai hal yang dialaminya ber­sama Rasulullah SAW selama itu. “Dan aku meyakini hal itu dan membenarkan apa yang diceritakannya itu, karena be­liau termasuk salah satu ulama shadi­qin,” kata Syaikh Yusuf menegaskan.

Dalam kitab yang sama, Syaikh Yusuf juga menukilkan riwayat dari Syaikh Ibnu Hajar Al-Haitami, menghi­kayatkan dari Syaikh Ibnu Abi Jumrah, Syaikh Al-Bazi, Syaikh Al-Yafi, dan yang lainnya dari kalangan tabi‘in dan juga generasi sesudah mereka, bahwa mere­ka telah bertemu Nabi SAW dalam mim­pi dan kemudian bertemu dengan beliau dalam keadaan sadar. Mereka bertanya kepada Nabi SAW tentang perkara-per­kara yang ghaib dan beliau pun menja­wabnya. Dan apa yang terjadi kemudian adalah seperti apa yang dikhabarkan oleh Nabi SAW.

Syaikh Ibnu Abi Jumrah mengata­kan, “Hal tersebut adalah bagian dari karamah awliya’, sehingga orang-orang yang mengingkarinya mestilah terjatuh ke dalam jurang pengingkaran terhadap karamah para awliya.”

Mungkinkah Bertemu Nabi?
Dapatkan seseorang bertemu, ber­bin­cang, bahkan berdialog dengan Nabi SAW, yang sudah wafat berabad-abad yang lalu, dalam keadaan sadar? Ma­salah ini memang menimbulkan perbe­da­an pendapat di kalangan umat Islam. Karena ada banyak aspek yang jawab­nya pun akan beragam pula berdasar­kan aspek yang dimaksudkan dan di­tanyakan.

Apakah pertanyaan itu menyangkut aspek syari’at dan tetapnya kemungkin­an melihat Nabi SAW dengan dalil-dalil syari’at? Apakah pertanyaan itu berkait­an dengan makna melihat dan kapan ter­jadinya? Dan siapakah yang layak meli­hat Nabi SAW jika hal itu termasuk mung­kin menurut syari’at?

Sesungguhnya permasalahan ten­tang melihat Nabi SAW secara nyata dan sadar telah disebutkan dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim.

Dalam Shahih Al-Bukhari, diriwayat­kan dari Abu Hurairah RA bahwa Ra­sulullah SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, niscaya ia akan melihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.”

Imam Ibnu Hajar dalam kitabnya Fath al-Bary menukilkan bahwa hadits ini diriwayatkan dengan tiga lafazh yang berbeda, yakni: pertama dengan lafazh “niscaya akan melihatku dalam keadaan sadar”, kedua dengan lafazh “maka se­akan-akan ia telah melihatku dalam ke­adaan sadar”, dan ketiga dengan lafazh “maka sungguh ia telah melihatku”.

Berkenaan dengan hadits ini, para ulama berbeda pendapat dalam menen­tukan lafazh yang paling kuat di antara ketiga riwayat tersebut, meskipun mere­ka tidak berbeda pendapat dalam kesha­hihannya. Perbedaan pendapat juga ter­jadi dalam menentukan makna dari ke­tiganya, terutama pada riwayat yang me­nyatakan, “Barang siapa melihatku da­lam mimpi, niscaya ia akan melihatku da­lam keadaan sadar.”

Untuk mengetahui apakah mungkin bertemu Nabi SAW dalam keadaan sa­dar, menurut pandangan syari’at tidaklah dapat disimpulkan berdasarkan hadits ini. Melainkan berdasarkan hadits-hadits lain yang kedudukannya mendekati mutawatir (derajat tertinggi keshahihan hadits). Yakni, antara lain, hadits-hadits yang menjelaskan mungkinnya melihat arwah yang tidak lagi berada pada jasad duniawinya. Hal itu telah dialami oleh Rasulullah SAW sebagaimana dalam ri­wayat yang menjelaskan ihwal peristiwa Isra dan Mi‘raj.

Nabi SAW dipertemukan oleh Allah de­ngan arwah para nabi sebelumnya, yang menyerupai bentuk jasad mereka se­masa di dunia, sebagaimana dijelas­kan dalam hadits-hadits yang shahih.

Dari riwayat tentang peristiwa Isra dan Mi‘raj yang dialami oleh Rasulullah SAW, dapat dipahami adanya kemung­kin­an melihat arwah menurut syari’at yang menjadi pembahasan kita kali ini, dengan tidak memandang kepada siapa yang mengalami peristiwa tersebut, yakni Rasulullah SAW. Hal itu tidak lain adalah mukjizat Nabi SAW.

Kalangan ulama Ahlussunnah wal Ja­ma’ah dalam masalah karamah aw­liya’ berpandangan bahwa segala se­suatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali, kecuali terdapat dalil yang menunjukkan kekhususannya bagi Nabi SAW.

Pandangan ini telah dijelaskan oleh para imam, di antaranya adalah Imam Nawawi dalam Syarh Muslim. Demikian itu karena karamah dan mukjizat, kedua­nya adalah sama-sama perkara yang di luar adat kebiasaan manusia yang da­tang dari Allah SWT. Perbedaan kedua­nya tidak terletak pada kemungkinan ter­jadinya, melainkan pada kedudukan muk­jizat sebagai bukti nyata yang tidak dapat diingkari kebenarannya dan se­bagai bukti kebenaran kenabian. Ada­pun karamah tidaklah demikian, melain­kan sebagai karunia dan kemuliaan yang Allah berikan bagi siapa pun yang dike­hendaki-Nya dari para kekasih Allah.

Karamah-karamah tersebut banyak disebutkan dalam Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW, dengan tidak adanya batasan tertentu, selain bahwa hal itu mungkin terjadinya dengan kudrat Allah SWT dengan bentuk yang berbeda-beda berdasarkan situasi dan kondisi yang dialami oleh masing-masing pelakunya. Seperti pertemuan dan dialog antara Mar­yam dan Jibril AS, pemindahan is­tana Bilqis dalam sekejap mata oleh salah seorang pengikut Nabi Sulaiman AS yang dikaruniai ilmu dari Al-Kitab, dan sebagainya.

Berdasarkan riwayat yang menetap­kan bertemunya Nabi SAW dengan ar­wah para nabi dalam peristiwa Isra dan Mi‘raj, sebagai mukjizat bagi beliau, da­pat dikatakan, sah pula bahwa arwah da­pat dilihat oleh wali siapa pun dengan ja­lan di luar adat kebiasaan manusia, se­bagai penghormatan dan kemuliaan dari Allah SWT. Karena bertemu dan melihat arwah tidaklah termasuk khushushiyah (sesuatu yang dikhususkan) bagi Nabi SAW semata, sehingga hal itu berlaku dalam konteks umum.

Pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk men­jadi karamah bagi wali, ini bersan­dar­kan pada dasar-dasar yang kuat. Yakni bahwa pembahasan dalam masa­lah terjadinya perkara apa pun membu­tuh­kan dua dalil, yaitu al-imkan ‘aqlan (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut naqlan (ketetapan berda­sar­kan nash-nash syari’at).

Mungkin terjadinya secara akal, yak­ni tidak termasuk mustahil secara akal, yaitu sesuatu yang tidak mungkin ter­gam­bar oleh akal wujudnya, seperti per­nyataan bahwa benda bergerak dan diam pada satu waktu yang bersamaan, tempat yang sama, dan arah yang sama pula. Dan mukjizat para nabi dan kara­mah para awliya’ termasuk perkara yang jaiz, mungkin terjadinya, menurut akal. Karena perkara yang mustahil secara akal, mustahil pula terjadinya meski se­kadar dalam khayalan.

Menghidupkan orang yang sudah mati, sebagaimana terjadi pada Nabi Isa AS, misalnya, telah dijelaskan secara pasti dalam Al-Qur’an. Hal ini menunjuk­kan penetapan terjadinya peristiwa itu me­nurut nash syari’at, yang mana meng­hidupkan orang yang sudah mati terma­suk mukjizat yang paling agung. Akan tetapi, tidak adanya riwayat yang me­nyebutkan terjadinya hal itu bagi selain Nabi Isa AS tidaklah menunjukkan bah­wa hal itu mustahil terjadinya pada selain Nabi Isa AS.

Di sana terdapat perbedaan antara apa yang mungkin terjadi dan apa yang belum terjadi berdasarkan ketetapan nash-nash syari’at. Tidak ada riwayat shahih yang menetapkan bahwa Nabi SAW menghidupkan orang yang mati padahal beliau lebih dekat dan lebih tinggi kedudukannya di sisi Allah diban­ding Nabi Isa AS. Namun Imam Syafi‘i berkata, “Tidaklah seorang nabi diberi mukjizat oleh Allah SWT kecuali Nabi SAW diberi mukjizat sejenisnya yang lebih agung darinya.”

Ketika Imam Syafi‘i ditanya perihal Nabi Isa yang dapat menghidupkan orang yang sudah mati, ia menjawab, “Tangisan pilu batang kurma lebih agung dalam masalah ini.” Karena menghidup­kan yang sudah mati berarti mengem­balikan kehidupan bagi sesuatu yang su­dah pernah hidup sebelumnya. Sedang­kan tangisan pilu batang kurma berarti memberikan kehidupan yang serupa de­ngan kehidupan manusia bagi sesuatu yang tidak memiliki kehidupan seperti manusia.

Para ulama menyatakan, hal itu me­rupakan mukjizat Nabi SAW, dan setiap karamah para wali adalah mukjizat Nabi SAW, karena mereka menerima kara­mah tersebut dengan sebab ittiba (meng­ikuti jalan) Rasulullah SAW sehing­ga semua karamah yang dika­runiakan Allah kepada para wali tidak lain adalah mukjizat-mukjizat beliau SAW.

Dari sini dapat diketahui dengan jelas bahwa mukjizat membutuhkan al-imka­nul ‘aqliy (mungkin terjadinya secara akal) dan ats-tsubut an-naqliy (ketetapan ber­dasarkan nash-nash syari’at). Demi­kian pula halnya dengan karamah. Ha­nya saja perbedaan keduanya adalah bah­wa yang pertama adalah pengakuan Nabi SAW, sedangkan yang kedua bu­kan pengakuan Nabi SAW. Perbedaan­nya juga bahwa iman kepada setiap muk­jizat wajib hukumnya pada dzatnya; adapun karamah para wali, wajib iman kepadanya secara umum, bukan kepada tiap-tiap karamah yang terjadi pada ma­sing-masing setiap wali, kecuali terha­dap karamah-karamah yang telah dite­tapkan dalam Al-Qur’an dan hadits-ha­dits Nabi SAW.

Adapun berkaitan dengan masalah ber­temu Nabi SAW dalam keadaan sa­dar, dapat dikatakan bahwa hal itu ter­masuk mumkin syar‘an wa ‘aqlan (mung­kin atau boleh terjadinya secara syari’at dan akal).

Mungkin secara akal telah diuraikan di atas. Adapun menurut syariat, dasar­nya adalah kaidah: segala sesuatu yang sah untuk menjadi mukjizat bagi Nabi SAW, sah pula untuk menjadi karamah bagi wali. Dan nash syari’at yang diri­wayatkan oleh Al-Bukhari dalam shahih­nya telah menetapkan bagi siapa pun yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi akan bertemu dengan beliau dalam ke­adaan sadar.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dalam bab at-Ta‘bir, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa me­lihatku dalam mimpi, niscaya ia akan me­lihatku dalam keadaan sadar. Karena setan tidak akan dapat menyerupaiku.” Kemudian Imam Al-Bukhari menyebut­kan pula secara langsung riwayat lain dari Anas RA, Nabi SAW bersabda, “Barang siapa melihatku dalam mimpi, sungguh dia telah melihatku, karena se­sungguhnya setan tidak dapat menye­rupai diriku. Dan mimpi seorang mukmin adalah bagian dari empat puluh enam bagian kenabian.”

Selanjutnya, sebagian ulama menje­laskan bahwa lafazh hadits ini menggu­nakan kata “fasayarani”. Huruf sin yang me­nunjukkan arti “akan” bila dimasuk­kan dalam fi`il mudhari`(kata kerja ben­tuk kedua yang menunjukkan makna kini dan akan datang), dalam kaidah bahasa Arab, digunakan untuk menunjukkan jarak waktu yang dekat. Berbeda dengan kata sawfa, yang bermakna “niscaya akan”, digunakan untuk masa yang jauh. Dan Nabi SAW tidak berkata-kata dari hawa nafsunya, melainkan berasal dari wahyu yang datangnya dari Allah SWT. Itulah sebabnya, ucapan yang keluar dari lisan beliau adalah ucapan yang paling kuat, yang tidak ada kerancuan padanya atau sesuatu yang mendatang­kan keraguan.

Bila yang dimaksud “melihat” dalam hadits tersebut adalah melihat kelak pada hari Kiamat, niscaya beliau berkata “sawfa yarani” (niscaya akan). Sedang­kan ulama sepakat bahwa semua orang mukmin akan bertemu dengan Nabi SAW pada hari Kiamat. Lalu di mana perbedaan dan keistimewaan bagi orang yang mimpi bertemu Nabi di dunia, atau apakah hanya orang yang bertemu Nabi dalam mimpi yang akan bertemu beliau kelak pada hari Kiamat?

Sayyid Muhammad Al-Maliki menga­takan, “Adapun bagi pihak yang mentak­wilkannya dengan melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar di akhirat, jawaban para ulama terhadap mereka: sesung­guhnya di akhirat, setiap orang yang ber­iman akan melihat Baginda SAW, sama saja yang pernah bermimpi berjumpa dengan beliau di dunia maupun yang tidak pernah bermimpi berjumpa dengan Nabi SAW, seperti yang dijelaskan dalam banyak hadist shahih yang lain. Hal ini menyebabkan, tidak ada peng­khususan antara mereka yang pernah melihat Nabi di dalam mimpi ataupun tidak. Sedangkan hadits tersebut men­ce­ritakan ihwal pengkhususan terhadap mereka yang pernah bermimpi bertemu Nabi dari mereka yang tidak pernah bermimpi berjumpa Nabi, yaitu, ‘ia akan melihatku dalam keadaan sadar’.”

Selain itu, Imam As-Suyuthi, dalam kitab Tanwir Al-Halk fi Imkan Ra’yah An-Nabiy fi Al-Yaqzhah wa Al-Malak, me­nukilkan penjelasan Imam Abu Muham­mad bin Abi Jumrah, ia berkata dalam ta’liq-nya (komentar) terhadap hadits riwayat Al-Bukhari, “Hadits ini menunjuk­kan bahwa barang siapa yang bertemu Nabi SAW dalam mimpi, nis­caya orang tersebut akan bertemu Nabi SAW dalam keadaan sadar. Dan apakah hal ini ber­laku umum pada masa Nabi hi­dup dan sesudah beliau wafat, ataukah hanya pada masa hidup beliau? Kemu­dian apakah hal itu berlaku bagi setiap orang yang melihat Nabi dalam mimpi, atau khusus bagi mereka yang memiliki ke­mampuan tertentu dan mengikuti sun­nah beliau SAW?

Lafazh hadits ini menunjukkan ke­umumannya; dan barang siapa menya­ta­kan kekhususan dengan tanpa adanya dalil yang mengkhususkannya dari Nabi SAW, orang tersebut telah berlaku sem­brono.

Namun sebagian orang benar-benar tidak meyakini keumuman hadits ini. Ia berkata dengan apa yang ada dalam pikirannya, ‘Bagaimana mungkin sese­orang yang sudah meninggalkan dunia dapat dilihat oleh orang yang masih hidup di alam nyata?’

Pendapat semacam ini mengandung dua hal yang sangat berbahaya, yaitu: pertama, tidak mempercayai ucapan Nabi SAW, yang tidaklah mengucapkan sesuat dari keinginanya; dan yang ke­dua, bodoh terhadap kekuasaan Yang Maha­kuasa dan menganggapnya lemah.…”

Imam As-Suyuthi berkata, “Ungkap­an Imam Ibnu Abi Jumrah bahwa ‘Lafazh hadits ini menunjukkan keumumannya’ tidak khusus bagi mereka yang memiliki kemampuan tertentu dan mengikuti sunnah beliau SAW, maksudnya adalah kepastian melihat Nabi SAW dalam keadaan sadar setelah melihat beliau dalam mimpi, meskipun hanya sekali, sebagai bukti dari janji beliau SAW yang tidak akan mungkin diingkari. Dan bagi orang awam, hal itu banyak terjadi pada saat-saat menjelang kematian, yaitu pada saat hadirnya sakratul maut. Yang mana ruhnya tidak akan keluar dari jasadnya sebelum melihat Nabi SAW sebagai perwujudan dari janji beliau SAW.

Adapun bagi selain orang-orang awam, melihat dan bertemu Nabi SAW dapat terjadi sepanjang hidup mereka, baik itu sering ataupun jarang, tergan­tung dari kesungguhan dan pemeliha­ra­an mereka terhadap sunnah Nabi SAW. Dan melanggar sunnah Nabi SAW merupakan penghalang yang besar untuk dapat melihat dan bertemu dengan beliau SAW.”

Sejauh Mana Cinta Kita
Itulah sebabnya, bagi yang mengha­rapkan mendapat anugerah besar dapat mimpi dan bertemu Nabi SAW, penting bagi kita untuk merenungi kisah berikut, sebagai muhasabah sejauh mana ke­cintaan kita kepada Rasulullah SAW dan seberapa besar pula tekad dan kesung­guhan kita dalam menjalankan sunnah-sunnah beliau SAW.

Pada suatu ketika seorang murid ber­jalan menuju rumah gurunya. Tam­pak di wajahnya ia sedang mengingin­kan sesuatu. Ketika sampai di rumah sang guru, dia duduk bersimpuh dengan sangat ber­adab di hadapan sang guru, yang tak bergerak sedikit pun. Kemudian dengan wajah dan suara yang berwibawa, bertanyalah sang guru kepada muridnya, “Apakah yang mem­buatmu datang kepadaku di tengah ma­lam begini?”

“Wahai Guru, sudah lama aku ingin melihat nabiku SAW walau hanya lewat mimpi, tetapi keinginanku belum terkabul juga,” jawab sang murid dengan nada sungguh-sungguh.

“Oh… itu rupanya yang kau inginkan. Tunggu sebentar.”

Sang guru mengeluarkan pena, ke­mudian menuliskan sesuatu untuk mu­ridnya. “Ini…, bacalah setiap hari se­banyak seribu kali, insya Allah kau akan bertemu dengan nabimu.”

Pulanglah murid membawa catatan dari sang guru, dengan penuh harapan ia akan bertemu dengan Rasulullah SAW. Tetapi setelah beberapa minggu kembalilah murid itu ke rumah gurunya, memberitahukan bahwa bacaan yang diberikannya tidak berpengaruh apa-apa.

Kemudian sang guru memberikan bacaan baru untuk dicobanya lagi. Sayangnya, beberapa minggu sete­lah itu muridnya kembali lagi memberi­tahukan kejadian yang sama. Setelah berdiam beberapa saat, ber­katalah sang guru, “Nanti malam engkau datang ke rumahku, kuundang makan ma­lam.” Sang murid heran. Ia bertanya-tanya dalam hati, “Ingin bertemu Nabi, tetapi kok diundang makan malam?” Sebagai murid yang taat, ia meme­nuhi undangan makan malam sang guru. Datanglah ia ke rumah gurunya untuk me­nikmati hidangan malamnya.

Tenyata sang guru hanya menghi­dang­kan ikan asin dan segera memerin­tahkan muridnya untuk menghabiskan­nya. “Makan, makanlah semua, dan ja­ngan biarkan tersisa sedikit pun.” Sang murid pun menghabiskan selu­ruh ikan asin yang ada. Setelah itu ia merasa kehausan, ka­rena memang ikan asin membuat orang haus. Tetapi ketika ingin meneguk air yang ada di depan matanya, sang guru mela­rangnya. “Kau tidak boleh meminum air itu hing­ga esok pagi, dan malam ini kau akan tidur di rumahku!” kata sang guru. Dengan penuh keheranan, ia menu­ruti perintah sang guru. Ketika malam semakin larut, sang murid merasa susah tertidur, karena ke­hausan. Ia membolak-balikkan badan­nya, hingga akhirnya tertidur juga karena kelelahan.

Dalam tidurnya ia bermimpi bertemu gurunya membawakan satu ember air dingin lalu mengguyurkan ke badannya. Lalu terjagalah ia karena mimpi itu, se­akan-akan benar-benar terjadi pada diri­nya. Kemudian ia mendapati gurunya te­lah berdiri di hadapannya dan berkata, “Apa yang kau impikan?” “Guru, aku tidak bermimpi tentang Nabi SAW. Aku bermimpi, guru mem­bawa air dingin lalu mengguyurkan ke badanku.” Tersenyumlah sang guru karena ja­waban muridnya. Kemudian dengan bi­jaksana ia berkata, “Jika cintamu kepada Rasulullah SAW seperti cintamu kepada air dingin itu, engkau akan bermimpi ber­temu Rasulullah SAW.” Menangislah si murid, ia menyadari bahwa di dalam dirinya belum ada rasa cinta kepada Rasulullah SAW. Ia masih le­bih mencintai dunia daripada Nabi SAW. Ia menyadari bahwa selama itu ia ma­sih sering meninggalkan sunnah-sun­nahnya, bahkan ia pun merasa masih sering me­nyakiti hati umat Rasulullah SAW.

Sumber : majalah-alkisah.com

Jumat, 12 Juni 2015



                Assalamu’alaikum Wr. Wb.
            Salam semangat bagi kita semua, mudah mudahan kita semua tidak bosan bosannya selalu dan selalu bersyukur atas nikmat dan hidayahnya ALLAH SWT, dan semoga sampai saat ini kita selalu bahkan sampai ajal menjemput kita nanti tetap ber Sholawat kepada sang Baginda Nabi Besar MUHAMMAD SAW karena berkat beliyaulah kita terlahir ke dunia yang fana ini.
            Dalam ksempatan ini saya mengajak kepada pengunjung blog sederhana saya ini untuk mengingat kembali untuk apa dan kenapa kita di ciptakan oleh Allah, sekarang kalau kita mau berbicara kesempurnaan dalam hidup maka sampai kapanpun gak akan merasa sempurna karena kesempurnaan hanya milik Allah semata.
            Saya mau cerita sedikit pengalaman saya ketika menjadi peserta pelatihan di suatu tempat yang pada waktu itu saya mewakili kepala sekolah saya yang berhalangan untuk hadir ke acara tersebut, disana saya di tayangkan sebuah film pendek ( Kisah Si Pensil ), awalnya saya agak gejolak di benak saya masak kepala sekolah di suruh nonton film pendek judulnya kisah sebuah pensil lagi, singkat cerita stelah di tayangkan entah kenapa air mata menetes saking seriusnya nonton tayangan Film itu kenapa tidak ternyata film pendek tersebut mengkisahkan sebuah pensil dan penciptanya. Agar pengunjung tidak penasaran berikut saya tayangkan juga kepada pengunjung blog ini dalam rangka Menularkan pengalaman saya ketika nonton wktu itu dan mudah mudahan setelah anda menyaksikan Film ini akan merasa terketuk hatinya sehingga bisa ingat jika  UNTUK APA DAN KENAPA KITA DI CIPTAKAN ???? Amien .....
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
SELAMAT MENYAKSIKAN !!!!